Setiap tetes garam yang dihasilkan kala itu seakan menyimpan kisah getir, tentang bagaimana sebuah pulau kecil ikut terjerat dalam pusaran perang dunia
Koba, Babel, (ANTARA) – Di pesisir Tanjung Langka, Kecamatan Koba, Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tujuh lubang berdiameter satu meter lebih masih bertahan meski usianya sudah melewati delapan dekade. Lubang-lubang itu dikenal dengan nama Sumur Tujuh atau Sumor Tujuh dalam bahasa Bangka.
Dari kejauhan, wujudnya tampak sederhana, sekadar lingkaran batu yang dibiarkan di tepi pantai. Namun, semakin dekat, kesunyian yang menyelubunginya seakan menyimpan gema masa lalu.
Dinding sumur yang tebal dan dilapisi lumut itu menjadi saksi bisu dari satu babak sejarah yang jarang dibicarakan, yaitu upaya Jepang memproduksi garam di Pulau Bangka pada masa Perang Dunia II.
Tak banyak catatan resmi yang tersisa, tetapi keberadaan tujuh unit sumur yang dibangun berjejer ini seperti membuka jendela kecil menuju masa ketika sebuah pulau kecil ikut terseret arus besar peperangan global.
Sumur Tujuh memang lubang-lubang tua di tepi pantai, tapi bagi masyarakat Bangka Tengah, situs itu adalah warisan yang menyimpan kisah getir masa pendudukan, sekaligus menjadi penanda pentingnya menjaga ingatan sejarah lokal.
Di sanalah pasir, ombak, dan angin bersekongkol untuk terus merawat jejak, meski perlahan waktu berusaha menghapusnya.
Baca juga: Bangka Barat bidik wisata sejarah dan budaya
Baca juga: Stok garam di Bangka kosong
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.