Pembiayaan layanan kesehatan jiwa 2020-2024 BPJS Kesehatan Rp6,77 T



Jakarta (ANTARA) – BPJS Kesehatan menyebutkan terdapat tren peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan jiwa sepanjang tahun 2020–2024, dengan total pembiayaan pelayanan di rumah sakit mencapai sekitar Rp6,77 triliun dengan total kasus sebanyak 18,9 juta.

“Skizofrenia menjadi diagnosis dengan beban biaya dan jumlah kasus tertinggi, yakni sebanyak 7,5 juta kasus dengan total pembiayaan Rp3,5 triliun,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di Surakarta, Jawa Tengah, Selasa.

Ghufron menyebutkan pada tahun 2024, tercatat sekitar 2,97 juta rujukan kasus jiwa dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit. Adapun provinsi dengan jumlah kasus tertinggi adalah Jawa Tengah sebanyak 3,5 juta kasus, disusul Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.

Baca juga: 5 manfaat kopi untuk mental: Dari fokus hingga mendukung daya ingat

Pihaknya menegaskan bahwa layanan kesehatan jiwa merupakan hak seluruh peserta Program JKN. Dia menyoroti pentingnya akses layanan kesehatan jiwa yang setara sebagai bagian dari tanggung jawab negara dalam menjamin kesehatan fisik maupun mental warganya.

Oleh karena itu, BPJS Kesehatan bersama pemangku kepentingan terus memperkuat sistem layanan, termasuk pada FKTP agar masyarakat yang membutuhkan mendapatkan akses pengobatan dan rehabilitasi yang menyeluruh.

Pihaknya juga mendorong deteksi dini masalah kesehatan jiwa melalui skrining berbasis Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) yang dapat diakses publik di situs resmi BPJS Kesehatan. Skrining ini membantu masyarakat mengenali gejala awal gangguan kejiwaan.

Bagi peserta yang sebelumnya ditangani di rumah sakit dan dinyatakan kondisinya stabil, katanya, kini dapat dilanjutkan di FKTP melalui Program Rujuk Balik (PRB).

Ghufron menerangkan peserta JKN tetap dapat melanjutkan pengobatan yang lebih mudah dan lebih dekat dengan tempat tinggal mereka, serta lebih efisien dalam mengakses layanan kesehatan jiwa.

Baca juga: Kemenkes: Jakarta kemungkinan tertinggi gejala depresi-kecemasan

Dia memastikan bahwa negara hadir melalui Program JKN guna membantu peserta mengakses layanan kesehatan jiwa. BPJS Kesehatan berkomitmen memberikan layanan kesehatan jiwa yang mudah, cepat, dan setara bagi masyarakat Indonesia.

Plt. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif Zainudin, Wahyu Nur Ambarwati menyampaikan pihaknya siap melayani peserta JKN secara humanis.

RSJD memiliki 213 tempat tidur untuk rawat inap, termasuk 177 tempat tidur psikiatri, serta instalasi rehabilitasi psikososial untuk membantu pasien meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan produktivitas.

“Jumlah pasien rawat inap di sini paling banyak adalah peserta JKN, lebih dari 90 persen, baik yang terdaftar pada segmen PBI maupun non-PBI. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien kesehatan jiwa di Surakarta dan sekitarnya sangat bergantung pada Program JKN untuk mengakses layanan kesehatan,” kata Wahyu.

Pada kesempatan yang sama, psikolog klinis Tara de Thouars menilai langkah BPJS Kesehatan ini sejalan dengan kebutuhan mendesak dalam mengatasi masalah kesehatan mental di masyarakat. Dia menyoroti data dari Kementerian Kesehatan yang menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang Indonesia mengalami masalah mental, dan terdapat 72,4 persen karyawan yang disurvei juga mengaku mengalami masalah mental.

“Angka percobaan bunuh diri bahkan mencapai 10 kali lipat dibandingkan kasus bunuh diri yang tercatat setiap bulan. Bahkan, survei Indonesia National Mental Health yang dilakukan pada tahun 2024, menunjukkan data bahwa sebanyak 39,4 persen remaja mengalami masalah mental dan setiap tahun meningkat 20 hingga 30 persen,” katanya.

Psikolog itu menjelaskan bahwa pemicu timbulnya masalah kesehatan mental ini, antara lain tingkat stres yang tinggi, persaingan ketat di dunia kerja, masalah ekonomi, merasa takut ketinggalan (fear of missing out/fomo) terhadap sesuatu, menjadi generasi sandwich, hingga tekanan dari media sosial.

Baca juga: 6 cara sederhana jaga kesehatan mental saat berada di rumah

Baca juga: 8 cara gen Z mengelola kesehatan mental di era digital

Sayangnya, kata dia, stigma negatif terkait masalah ini masih kuat melekat di masyarakat. Hal ini membuat banyak individu memilih menyembunyikan masalahnya dan enggan mencari pertolongan.

Tara mengimbau untuk tidak memberi label negatif kepada pengidap kesehatan mental, karena akan membuat orang takut untuk mencari bantuan.

Selain itu, berhenti menormalisasi gangguan mental sebagai hal biasa dan menganggap masalah mental sebagai sesuatu yang keren atau istimewa, karena membuat masalah tidak tertangani.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.



https://dataharian.site/